Selasa, 09 April 2013

Relawan Aceh di Gaza Disambut Layaknya Tamu Negara

relawan aceh disambut di gaza
DI tengah embusan angin dingin dan suhu berkisar 18 derajat Celcius yang menusuk tulang, saya dan relawan Aceh ke Palestina, Khairul Amal beserta 25 orang lainnya, bergerak dari Iskandariah menuju Gaza, Palestina. Itu terjadi Sabtu, 6 April 2013 pukul 2 dini hari. Kami membawa dua mobil ambulans dan uang tunai sekitar Rp 5 miliar, sumbangan rakyat Indonesia.
Sepanjang perjalanan, kabut tebal membatasi jarak pandang. Pukul 5 kami shalat Subuh di sebuah masjid di pinggir jalan. Saat berwudhuk dengan air sedingin es, membuat gigi gemeretak. Setelah shalat, kami usir dingin dengan minum syai (teh) panas. Kami juga mengganjal perut dengan roti dingin yang dibekali hotel saat di Iskandariah, Mesir.
Perjalanan menuju Gaza melewati Provinsi Iskandariah, Dimyad, Suez, Ismailiyah, Sinai Utara, Port Said, dan kota perbatasan Rafah di Mesir.
Ketika menyusuri jalan di Provinsi Suez kami lewati sebuah jembatan yang cukup panjang yang membelah Terusan Suez yang terkenal itu. Dibangun pada masa Napoleon Bonaparte.
Ketika melewati Provinsi Sinai, terhampar Gurun Sinai yang tandus sepanjang mata memandang. Gurun inilah yang dilewati Nabi Musa dan pengikutnya kaum Bani Israil setelah selamat dari kejaran Fir’aun. Di gurun ini pula para pengikut Nabi Musa tersesat 40 tahun untuk masuk ke Palestina sebagaimana diceritakan dalam Alquran.
Ketika bus yang kami tumpangi sedang melaju, tiba-tiba harus berhenti di pos pemeriksaan tentara. Ada pertanyaan dan pemeriksaan, tapi alhamdulillah lancar. Polisinya tersenyum ketika kami bawakan koran yang terbit pagi itu.
Pos pemeriksaan dijaga oleh tentara bersenjata AK-47 lengkap dengan panser atau tank tempur. Saya jadi teringat Aceh pada masa darurat militer. Sepanjang perjalanan sampai ke perbatasan Rafah terdapat sekitar 15 pos pemeriksaan yang menegangkan.
Setelah menempuh 530 km selama sepuluh jam lebih, pukul 11.30 kami sampai di Kota Rafah, Mesir, untuk selanjutnya masuk proses pemeriksaan imigrasi yang memakan waktu sekitar empat jam, karena kami membawa ambulans, sedangkan pukul 16.00 perbatasan ditutup.
Begitu ke luar dari Imigrasi Mesir lega
rasanya, karena kabarnya di Imigrasi Palestina pemeriksaan tak terlalu ketat. Benar saja, begitu tiba di wilayah Palestina kami langsung ganti bus yang sudah menunggu. Suara takbir membahana ke luar dari mulut rombongan relawan yang menyadari diri mereka sudah menginjakkan kaki di bumi Palestina. Rasa lelah kami hilang seketika begitu menginjakkan kaki di tanah yang diberkati ini. Apalagi saat di Gaza kami diperlakukan bagai tamu kehormatan, mewakili negara.
Sayangnya, dua warga Mesir yang membawa dua ambulans yang dibeli Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) tak diizinkan masuk Palestina. Ambulans tersebut akhirnya dibawa petugas Imigrasi Mesir memasuki wilayah Palestina.
Begitu tiba, kami langsung diantar ke ruang VIP dan disuguhi minuman penyambutan berupa kopi, teh, dan minuman lainnya. Saat kami tiba pas masuk waktu Ashar.
Selesai melepas lelah di ruang VIP kami dibawa ke penginapan. Di sepanjang jalan kami saksikan tanah Gaza yang sangat subur dipenuhi tanaman tomat, anggur, apel, jeruk, semangka, kentang, kol, terong, zaitun, gandum, dan banyak lagi lainnya.
Tak lama kemudian kami tiba di Hotel Almathaf di tepi pantai Gaza yang hanya berjarak 10 km dari tanah jajahan Yahudi. Bangunan besar di wilayah yang dikuasai Yahudi terlihat jelas. Beberapa tower yang menjulang tinggi bisa dilihat dengan jelas dari hotel kami.
Hari Ahad (7/4/2013) merupakan hari kedua keberadaan kami di Gaza. Aksi kemanusiaan pun dimulai dengan mengunjungi Aqsa University untuk menyerahkan bantuan beasiswa 30 ribu dolar Amerika atau sekitar Rp 300 juta. Akan diserahkan kepada anak Palestina yang menjadi korban penjajahan Israel, seperti orang tuanya yang terbunuh atau dipenjara kaum Zionis. Sementara dana sumbangan rakyat Aceh secara khusus diusahakan akan diserahkan langsung kepada Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniyeh.
Di universitas ini kami disambut Presiden Universitas, Dr Salam Z Al-Agha. Menurutnya, di situ belajar 26 ribu mahasiswa. Terdiri atas 24 ribu orang S1 dan 2.000 sedang menempuh S2.
Kesimpulan kami sementara, Gaza merupakan negeri yang merdeka. Di tengah embargo Yahudi, mereka tetap “merdeka” dalam aktivitas dan penuh semangat membangun negeri, merehab lahan pertanian yang dirusak bahkan diracun oleh Israel, serta memperjuangkan status supaya benar-benar menjadi negara yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.(ac)

Oleh TGK MAKHYARUDDIN YUSUF,
Relawan Aceh di Palestina, melaporkan dari Gaza.

0 komentar:

Posting Komentar