Kamis, 28 Februari 2013

Dilema Revolusi Suriah

By on February 28, 2013

Achmad P Nugroho 

Oleh: Achmad P Nugroho, Mahasiswa PNJ, LAPMI HMI cabang Depok

Ketika Kepala dewan koalisi nasional Suriah Ahmad Moaz al-Khatib mengumumkan inisiatif perdamaian termasuk mengadakan dialog dengan perwakilan dari Rezim Presiden Bashar al-Assad, ia memberikan Shock therapy pada pihak oposisi untuk berdiskusi dengan rezim yang menewaskan puluhan ribuan orang.Kejutan ini hadir ke permukaan,karena hampir masyarakat Internasional tahu akan gigihnya pejuang oposisi dalam usaha penggulingan rezim tirani Bashar al-assad.Perundingan yang dimotori oleh Dewan Koalisi Nasional ini mendasarkan dua syarat penting.Yang pertama, adalah bahwa akhir dari rezim Bashar harus menjadi dasar utama dialog apapun Yang kedua, adalah bahwa dialog diadakan dengan tangan pihak-pihak yang “tidak berlumuran darah.”
Logika berbicara, kedua kondisi tersebut seperti menjaga semua peluang terbuka untuk oposisi.Pada satu sisi, hal ini akan sangat naif untuk mengharapkan rezim yang memblokade perjuangan revolusi rakyat Suriah selama dua tahun dengan kebrutalan dan pembunuhan massal menjadi seolah setuju untuk sikap resmi perdamaian melalui perundingan.Di sisi lain, semua orang tahu betul sifat rezim al-Assad yang telah memerintah Suriah sejak musim gugur 1970. Berdasarkan hal tersebut, mereka yang “tangannya tidak berlumuran darah” secara tidak langsung telah terlibat atas nama rezim dalam sebuah pertumpahan darah.

Sebuah Tes Balon
Pengumuman inisiatif Khatib telah memicu banyak reaksi.Beberapa yang kontra tidak ingin menunggu klarifikasi tentang dasar inisiatif tersebut.Beberapa pihak menganggap bahwa inisiatif perdamaian yang dikeluarkan adalah sebuah “tes balon,” melihat dari  minimnya pengalaman Khatib dalam berpolitik mendorongnya membuat kebijakan tersebut.Ia seperti ingin mengetahui, tanggapan yang didapat dari berbagai kalangan baik pihak oposisi maupun pendukung al-Assad di Suriah dan Internasional.
Ketika tanggapan negatif pertama untuk usulan itu muncul, orang-orang yang menuduh Khatib memiliki “sedikit pengalaman” untuk berpikir dan menguburkan cita-cita revolusi.Namun,saat batas waktu yang ditetapkan oleh Khatib berlalu, ia meluncurkan sebuah usulan baru yang dimodifikasi untuk rezim al-Assad dalam pembebasan tahanan perempuan dan memegang negosisiasi di luar Suriah.Sekali lagi, Khatib menemukan cara dalam menyelamatkan muka “keluar” untuk konsesi.Pada titik ini, inisiatif kedua yang dimodifikasi dinilai kurang radikal dan kurang tegas menggambarkan semangat revolusi.
Sikap Khatib tersebut dinilai wajar oleh berbagai kalangan,terutama terkait dalam pengamanan kepentingan barat di Suriah.Hegemoni kepentingan Internasional memang berdiaspora dalam krisis yang terjadi di negeri alawi,baik itu Amerika Serikat (AS) ,Rusia bahkan Iran.Pernyataan Presiden AS Barack Obama pada Suriah menarik perhatian.Melalui Menteri Luar Negeri AS John Kerry lebih jauh menggarisbawahi sikap AS nyata pada Suriah.AS menolak rekomendasi oleh pejabat senior dalam pemerintahannya untuk mendukung oposisi Suriah dengan senjata, menegaskan bahwa konfrontasi bukanlah sebuah pilihan untuk menuntaskan revolusi di Suriah.
Bagi AS,pemberian senjata kepada oposisi akan menganggu stabilitas nasional negara sekutunya,Israel.Kekuatan pejuang oposisi yang sebagian besar diisi oleh para milisi Islamis,menjadikan ketakutan tersendiri bagi AS dan Israel.Pemerintah AS lebih memilih Rusia sebagai delegator,guna menyelesaikan krisis sosial yang terjadi di Suriah tanpa menganggu stabilitas keamanan Israel.Bagi Rusia sendiri,keberhasilan diplomasi Rusia dalam meyakinkan Presiden Suriah mundur akan melestarikan kepentingan Rusia di Suriah setelah stigma Internasional dalam “mempersonifikasikan” kedekatan rezim al-Assad dengan bekas negara soviet tersebut.
Sementara keberpihakan Iran,lebih didasari kesamaan ideologis dengan rezim al-Assad yang berpaham Syiah.Rezim tersebut diyakini mengamankan kepentingan politik Syiah di Timur Tengah,khususnya Suriah dan Lebanon.Kepentingan inilah yang menjadi dasar pertimbangan Iran membela habis-habisan rezim al-Assad,meski sudah jelas membunuh rakyatnya sendiri.Terlebih lagi,ketegangan yang meningkat antara Iran dengan mayoritas negara teluk mengenai permasalahan reformasi di Bahrain,memaksa Iran untuk mempertahankan harga diri negara mullah ini sebagai pemimpin bagi komunitas syiah dunia.

Pengaruh dan Subordinasi
Suriah kini memang tengah berada ditengah garis demarkasi pengaruh dan subordinasi kepentingan antara AS,Rusia dan Iran.Pembunuhan atas Jenderal Hassan Shateri (yang merupakan pejabat yang populer dari “Garda Revolusi Iran” di Lebanon) adalah sebuah bukti bahwa Suriah menjadi medan kepentingan dunia Internasional.Peristiwa tersebut menjadi gambaran yang menunjukkan bahwa Suriah (dengan atau tanpa kehadiran Assad) akan tetap, bersama dengan Lebanon menjadi sebuah “protektorat Iran” yang diakui Amerika,Rusia bahkan Israel sekalipun.
Di sisi lain keinginan rakyat Suriah akan kehidupan baru dalam revolusi bisa menjadi sebuah ilusi,bila oposisi tidak mengambil sikap yang pasti.Perjuangan revolusi Suriah bisa menjadi anti-klimaks dari revolusi yang (juga) sedang menghadapi proses transisi menuju sistem reformasi.
Konflik sosial yang terjadi selama ini,menjadi bukti bahwa Suriah masih menentukan posisi dalam transisi penggulingan rezim tirani.Diplomasi memang bukan sebagai salah satu konklusi perjuangan revolusi,namun dapat menghasilkan solusi terhadap krisis yang tengah terjadi saat ini.Perlahan,waktu yang terkembang akan datang untuk rakyat Suriah dalam menyadari apa yang telah terjadi di Irak,Lebanon dan Libya bahwa mereka hanyalah sekumpulan pemain kecil di sebuah lapangan besar.

Kamis, 14 Februari 2013

Muslim Jepang Temukan Peran Mereka Di Masyarakat

Bosan dengan kehidupan materialistis, kaum muda Jepang semakin banyak yang masuk Islam karena menurut mereka Islam mengajarkan keseimbangan baru antara hidup mereka dan keyakinan agama.
“Itu tak lain sebuah wahyu ilahi,” kata Masashi Nagano, seorang Muslim Jepang berusia 28 tahun, mengatakan kepada The Japan Times pada hari Senin 17 Desember 2012.
Lahir dan dibesarkan di dalam masyarakat yang didominasi keyakinan Shinto dan Budha, Nagano membenci agama sewaktu dia masih seorang anak kecil.
Dia terkejut oleh kekejaman yang dilakukan oleh seorang teroris Jepang Aum Shinrikyo, termasuk serangan gas beracun tahun 1995 pada sistem kereta bawah tanah di Tokyo yang menewaskan belasan orang dan ribuan penumpang.
Fakta ini, bagaimanapun akhirnya berubah pada tahun 2008 ketika ia duduk di sekolah pascasarjana.
Membaca Alquran sebagai bagian dari studi antropologi, ia kemudian mulai berbaur dengan umat Islam yang tinggal di Jepang.
Sekarang, ia membanggakan dirinya sebagai seorang Muslim yang taat.
“Saya berutang banyak terhadap Al-Quran,” tambah Nagano.
Namun kasus ini hampir sama dengan beberapa dekada yang lalu.
Mimasaka Higuchi, 76 tahun, seorang mantan ketua Asosiasi Muslim Jepang, juga menemukan Islam pada tahun 1963 selama ia kursus belajar bahasa Arab di Mesir.
Meskipun ia masuk Islam hanya untuk mendapatkan kursus bahasa Arab di tempat terhormat di universitas Al-Azhar Mesir, keyakinannya dalam berIslam secara bertahap mulai tumbuh.
“Pada saat itu, Islam dianggap sebagai agama barbar dari padang pasir,” ujarnya.
“Sampai saya berangkat ke Mesir, saya hidup sangat dekat dengan umat Muslim.”
Higuchi mengamati bahwa ikatan yang kuat dari orang-orang di dalam masyarakat suku di dunia Arab mirip dengan solidaritas kerja yang terlihat di antara warga Jepang.

Hubungan Kemanusiaan
Meyakini peran agama dalam kehidupan, Nagano berpartisipasi dalam program pelatihan bagi umat beragama dari berbagai agama yang ingin membantu menyembuhkan luka mental.
“Saya merasa sulit untuk hidup sebagai seorang Muslim di Jepang, tapi saya bersedia untuk pergi ke mana pun  sayadibutuhkan.”
Program ini diluncurkan di bawah inisiatif Universitas Tohoku untuk memperbaiki bekas luka mendalam terhadap orang-orang yang kehilangan anggota keluarga dan rumah mereka akibat gempa yang menimbulkan tsunami mengerikan yang melanda Jepang pada bulan Maret 2011 lalu.
Mencari peran yang lebih besar untuk Muslim Jepang, Nagano bekerja sebagai ahli perawatan mental agama sebagai bagian dari upaya untuk mencari tahu apa yang Muslim dapat lakukan di masyarakat Jepang.
Selain itu, ia sering mengunjungi kuil Buddha untuk membina hubungan kerja sama antara Islam dan Buddha, serta antara agama-agama lainnya.
“Saya ingin mengembangkan chemistry yang baik dengan mitra dialog saya pada saat saya memperbaiki satu sama lain,” katanya.
Islam sendiri mulai ada di Jepang pada tahun 1920 melalui imigrasi beberapa ratus Muslim Turki dari Rusia setelah revolusi Rusia.
Pada tahun 1930, umat Islam jumlahnya mencapai sekitar 1000 orang dari asal yang berbeda.
Gelombang migran lain yang mendorong populasi Muslim meningkat pada 1980-an, bersamaan dengan datangnya pekerja migran dari Pakistan dan Bangladesh.
Jepang hari ini adalah rumah bagi komunitas Muslim yang sangat berkembang dari jumlah sekitar 120.000 Muslim, di antara hampir 127 juta populasi di negara kesepuluh di dunia yang paling padat penduduknya.

(By : Al-Furqon)